Rabu, 25 Agustus 2010

Manusia Hancurkan Habitat Penyu


Kompas, Sabtu, 21 Agustus 2010


Habitat penyu di pesisir Kabupaten Lampung Barat terancam hilang atau punah dalam beberapa tahun mendatang akibat pembangunan yang tidak berbasis lingkungan.

"Penyu yang mendarat di pantai Lampung Barat merupakan habitat terbesar di dunia dan jumlah penyu yang mendarat di sana dari tahun ke tahun terus menurun," kata Direktur LSM Mitra Bentala, Herza Yulianto, di Bandar Lampung.

Dia menjelaskan, kondisi pesisir Lampung barat saat ini telah mengakibatkan penyu enggan mendarat di kawasan tersebut.

"Sejumlah area hijau dari garis pantai hingga jarak 10 meter dari daratan banyak yang rusak. Salah satu penyebabnya karena telah mengalami alih fungsi menjadi permukiman," kata dia.

Jumlah habitat penyu, katanya, terus menurun dan ironisnya saat ini Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Lampung Barat belum memiliki data valid tentang jumlah terkini habitat itu.

"Kita dan DKP, sebagai pemilik kebijakan setempat, akan melakukan survei dan penelitian tentang jumlah pasti habitat penyu di Pesisir Lampung Barat untuk menjadi pijakan dasar dalam melakukan langkah pelestarian selanjutnya," kata dia.

Herza mengatakan, data terakhir yang dimiliki kedua instansi tersebut adalah data tahun 2006. Data tersebut menunjukkan ada empat jenis penyu yang biasa mendarat di pesisir Lampung Barat dan jumlahnya tinggal 165 ekor.

Penyu-penyu tersebut terdiri atas penyu hijau 30 ekor, penyu sisik 30 ekor, penyu belimbing 15 ekor, dan penyu lekang 90 ekor. Faktor penyebab populasi penyu yang mendarat di pesisir itu semakin menurun, kata Herza, selain karena berkurangnya luasan green belt area, juga didorong oleh berbagai faktor lain.

Sejumlah faktor pendorong tersebut adalah pemanfaatan penyu dan telur penyu yang tidak ramah lingkungan serta penangkapan dan perdagangan penyu yang tidak sah.

"Harga telur penyu di pasar saat ini sangat menggiurkan, Rp 10.000 per dua butirnya," kata dia.

Selain itu, Herza menambahkan, beberapa faktor pendukung penyebab menurunnya populasi penyu lainnya adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap biota penyu, pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan yang masih rendah, dan lemahnya koordinasi antar-stake holder.

"Harus ada kesinergian kerja sama dan kesamaan visi antarlembaga swadaya masyarakat, pihak swasta, masyarakat, dan pemerintah untuk menyelamatkan penyu," kata dia.

Populasi penyu yang mendarat di Pantai Pesisir Lampung Barat termasuk terbesar di dunia karena empat dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia mendarat di wilayah itu.

Panjang garis pantai di kabupaten itu adalah 210 km atau sekitar 19 persen dari garis pantai di Provinsi Lampung, serta luasnya 1.105 kilometer persegi dengan potensi lestari hasil laut (ikan, lobster, tuna, penyu) mencapai 90.000 ton per tahun.

Pada tahun 2005, DKP Lampung Barat mencanangkan zona kawasan konservasi laut daerah (KKLD) di sepanjang jalur pantai pesisir Kabupaten Lampung Barat.

Selasa, 10 Agustus 2010

Mangrove Jawa dan Bali, 68 Persen Rusak Rabu, 28 Juli 2010 | 12:12 WIB

Barisan ajir (batang bambu untuk penopang bibit mangrove) dengan jarak tanam yang rapat terendam sepanjang puluhan kilometer di sepanjang garis pantai sebelah barat muara Kali Rambatan Baru, Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat, Minggu (8/6). Tidak tampak satu pun bibit mangrove yang tertanam menempel pada ajir. Lokasi tersebut sebenarnya bukan habitat mangrove karena bukan lahan pasang surut.


JAKARTA, KOMPAS.com - Kemusnahan mangrove di pesisir utara Jawa dan Bali di ambang pintu. Data yang dirilis LSM lingkungan KIARA menyebutkan, kerusakan hutan mangrove mencapai 68 persen dari periode 1997-2003. Sebagai area pemijahan dan asuhan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan, mangrove memberi arti penting bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Untuk itu, pemerintah perlu menyegerakan upaya pemulihan kawasan pesisir.

"Rusaknya ekosistem mangrove disebabkan oleh limbah antropogenik daratan di sekitar pantai, khususnya limbah industri. Juga akibat konversi lahan pantai untuk kepentingan industri, kawasan perniagaan, dan permukiman mewah," kata Abdul Halim, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam siaran persnya, Rabu (28/7/2010).

Hingga 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pemulihan kawasan pesisir seluas 1.440 hektare (ha) dari kerusakan lingkungan di sepanjang pantai nasional. Dari target 2014 seluas 1.440 ha, diharapkan capaian per tahunnya mencapai 401,7 persen.

"Besaran target yang dipatok harus dibarengi dengan kesungguhan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam melaksanakan program. Kesungguhan ini bisa diwujudkan jika program yang dijalankan tidak berpangku pada ketersediaan anggaran semata, melainkan pada tujuan mulia program, yakni mengembalikan fungsi-fungsi ekologis dan sosial ekosistem pesisir. Dalam kondisi inilah, partisipasi nelayan dan masyarakat pesisir penting untuk dilibatkan," papar Halim.

Pada prinsipnya, mangrove adalah daerah pemijahan dan asuhan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan. Daerah pesisir yang memiliki mangrove juga berfungsi sebagai daerah penyangga atau filter akibat pengaruh daratan, seperti penahan sedimen dan melindungi pantai dari erosi, serta gelombang dan angin kencang.

"Hilangnya mangrove akibat konversi dan proyek reklamasi juga turut memusnahkan hutan mangrove di wilayah pesisir. Bahkan, di Langkat, Sumatera Utara, kami menemui beralihnya hutan mangrove menjadi perkebunan sawit. Inilah bentuk penghancuran hutan mangrove," jelas Halim.

Menanti Jejak Hilal di Awal Bulan

KOMPAS.com - Umat Islam menjadikan penampakan hilal sebagai awal masuknya bulan dalam penanggalan Hijriah. Meski setiap bulan terlihat, hilal di Bulan Ramadhan dan Syawal paling sering dibicarakan karena terkait dimulainya puasa dan lebaran Idul Fitri. Nampak tidaknya hilal sering membuat perbedaan awal dimulainya puasa dan lebaran di kalangan umat Islam. Sebab, ada yang berpandangan perhitungan hisab saja sudah cukup untuk menentukan awal bulan, namun ada yang tetap berpandangan bahwa hilal harus terlihat.

Melihat hilal memang bukan hal yang gampang karena hanya nampak sesaat berbentuk bulan sabit yang sangat tipis di ufuk barat setelah Matahari terbenam. Belum lagi apabila arah pandang tertutup lapisan awan tebal. Namun, dengan adanya teropong dan teleskop yang disebar di berbagai lokasi, pengamatan hilal terbantu. Apalagi dengan bantuan software astronomi untuk memperkirakan posisi penampakan hilal. Kegiatan rukyatul hilal pun menjadi semakin akurat.

Pada dasarnya hilal atau bulan baru merupakan bagian dari perjalanan rotasi Bulan mengelilingi Matahari dan sistem tata surya. Posisi Bulan terhadap Bumi dan Matahari yang menjadikan bentuk bulan yang terlihat dari Bumi berubah-ubah dari hari ke hari mengalami siklus antara sabit dan purnama. Cahaya Bulan yang terlihat dari Bumi itu merupakan pantulan cahaya Matahari sesuai posisinya terhadap Bumi dan Matahari.

Nah, kombinasi rotasi Bumi, perputaran Bulan terhadap Bumi, dan perputaran Bumi terhadap Matahari membuat di akhir bulan seperti saat ini, Bulan dan Matahari seolah-olah bergerak bersama dari timur ke barat dengan posisi yang berdekatan jika dilihat dari Bumi. Inilah peristiwa yang disebut konjungsi geosentrik atau ijtima'.

Menurut perhitungan Badan Meteorologi Klimatologi dan geofisika (BMKG), pada Selasa (10/8/2010), pukul 10.08 WIB, Matahari dan Bulan akan berada di bujur ekliptika yang sama. Namun, karena tidak tepat sejajar, peristiwa tersebut tidak sampai menimbulkan gerhana bulan. Juga jangan harap melihat Bulan di siang bolong saat ini karena tidak ada cahaya yang dipantulkan Matahari di permukaan Bulan ke Bumi.

Matahari akan terbenam di wilayah Indonesia paling awal terjadi pada pukul 17.38 WIT di Merauke dan paling akhir pada pukul 18.54 WIB di Sabang. Sementara Bulan menyusul beberapa menit kemudian. Saat Matahari terbenam itulah, pantulan cahaya di permukaan Bulan akan terlihat dari Bumi.