Rabu, 22 Desember 2010

Hutan Purba Ditemukan di Kutub Utara

Selasa, 21 Desember 2010 | 10:26 WIB

KOMPAS.com — Hutan purba, lengkap dengan kayu, dedaunan, dan biji-bijian, ditemukan di Kutub Utara di daerah Kanada. Hutan yang diperkirakan berumur jutaan tahun itu dikelilingi gletser, tak ada pohon, kecuali beberapa pohon kerdil seukuran bonsai.

Tim peneliti menemukan hutan itu setelah memperoleh laporan dari jagawana dari Quittinirpaaq National Park di Ellesmere Island, salah satu daratan yang posisinya paling utara. Polisi hutan itu menemukan serpihan kayu yang dianggapnya berasal dari pohon-pohon besar serta beberapa gelondongan kayu sepanjang beberapa kaki.

"Kayu-kayu itu tersebar. Sulit untuk tidak menginjaknya," kata Joel Barker, ilmuwan lingkungan dari Ohio State University yang juga pemimpin studi ini. Kalau digali lebih dalam, menurutnya, akan lebih banyak kayu, daun, dan biji ditemukan. Hutan tersebut bisa awet karena terkubur oleh longsoran dan terisolasi dari udara dan air.

Dengan mempelajari kayu, daun, dan biji, tim peneliti berhasil menemukan beberapa spesies pohon, di antaranya adalah pinus, cemara, dan birch. Menurut Barker, jumlah spesies yang tidak banyak itu menunjukkan bahwa hutan tersebut sedang di ambang kepunahan. "Hutan ini kira-kira berasal dari sepuluh juta hingga dua juta tahun yang lalu," ujar Barker.

Para peneliti juga mengukur lingkar kayu dan mendapati bahwa pohon di hutan itu setidaknya berumur 75 tahun pada saat terkubur. Cincin pohon yang kecil menunjukkan, pertumbuhan pohon sangat lambat.

Penemuan ini bisa dipakai untuk mengetahui kondisi dunia pada saat iklim Bumi berubah drastis. "Penemuan ini luar biasa. Kayu berumur jutaan tahun dengan kondisi yang masih sangat bagus akan membuka berbagai kemungkinan," kata Robert Blanchette, ahli patologi University of Minnesota.

Tim berharap menemukan kecepatan perubahan iklim dan efeknya terhadap tumbuhan. Ilmuwan juga ingin mengetahui cara pohon bereaksi terhadap pendinginan sekitar 5 juta tahun yang lalu, saat efek rumah kaca berubah jadi efek rumah es. Pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini merupakan kebalikan dari kejadian itu. (National Geographic Indonesia/Alex Pangestu)

Rabu, 08 Desember 2010

Teka-teki Pembentukan Gua Terpecahkan

Selasa, 7 Desember 2010 | 10:25 WIB

Tonjolan batuan kapur atau disebut stalaktit dan stalakmit berusia ratusan tahun yang terbentuk secara alami, menghiasi dalam Goa Gong sekitar 30 kilometer arah barat daya Kota Pacitan tepatnya di Desa Bomo, Kecamatan Punung, Kamis (30/4). Goa sedalam 256 meter ini menjadi tempat wisata unggulan bagi Kota Pacitan. Goa ini juga diklaim wisatawan sebagai goa terindah di Asia Tenggara.

KOMPAS.com - Selama lebih dari seabad para ilmuwan telah menemukan dan memercayai mekanisme dasar pembentukan gua, yakni sebuah patahan kecil terbentuk pada batuan dan air masuk ke dalamnya. Air yang masuk mengandung karbon dioksida, lalu membentuk asam lemah yang mampu melarutkan kalsium karbonat pada batuan.

Namun, masalahnya, mekanisme tersebut menyisakan teka-teki. Bagaimana pelarutan bisa berlangsung begitu cepat sehingga bisa mengakibatkan penetrasi yang begitu dalam dan membentuk sistem gua? Sebagai informasi, sistem gua Mammoth Cave di Kentucky bisa mencapai 580 kilometer.

Baru-baru ini, teka-teki itu terpecahkan lewat analisis matematis terbaru. Piotr Szymczak, fisikawan dari Universitas Warsawa, dan rekannya, Anthony Ladd, insinyur kimia dari University of Florida in Gainesville menguraikan analisisnya di Earth and Planetary Science Letters.

Analisis itu menguraikan bahwa aliran air dalam batuan selalu memiliki ketidakstabilan matematis. Singkatnya, ketika patahan mulai terbentuk, air terkonsentrasi untuk mengalir ke dalam saluran tersebut, memperbesarnya dan mengorbankan saluran lain.

"Mekanisme yang disebut channeling ini mempercepat pelarutan. Itulah yang membuat air bisa memenetrasi begitu dalam. Kebanyakan dari model matematika yang menguraikan pembentukan gua tidak memiliki mekanisme ini sama sekali," tutur Szymczak.

Analisis baru yang dikemukakan Szymczak bisa menjelaskan alasan mengapa pembentukan gua di wilayah bendungan kadang lebih cepat dari yang diharapkan. Model tersebut juga bisa membantu menjelaskan cara air merembes di celah batuan.

Senin, 29 November 2010

Mikroba Mars bisa hidup jutaan hidup

Kamis, 25 November 2010 | 11:05 WIB
NASA
Strain bakteri Conan Deinococcus radiodurans.

KOMPAS.com — Ada satu bakteri yang dinamai "Conan the Bacterium" alias Bakteri Conan karena kekuatan bertahan hidupnya, yakni Deinococcus radiodurans. Bakteri tersebut sebelumnya dikatakan mampu bertahan dari radiasi.

Kini, secara teori, bakteri tersebut pun disebut bisa bertahan hidup di Mars hingga jutaan tahun. Kemampuan bertahan hidup yang dimaksud di sini adalah kemampuan menjalani masa dormansi atau tidur lama saat kondisi ekstrem.

Telaah teoretis tersebut muncul dari eksperimen Lewis Dartnell dari University College London dan koleganya. Mereka membekukan bakteri tersebut pada temperatur -79 derajat celsius, temperatur rata-rata di Mars. Setelah dibekukan, bakteri dipapar sinar gama dengan dosis tertentu dalam jangka waktu lama untuk mengetahui respons bakteri terhadap radiasi.

Hasilnya, lewat simulasi itu, tim peneliti menyimpulkan bahwa bakteri tersebut bisa tetap bertahan hidup selama 1,2 juta tahun di lingkungan Mars sebelum akhirnya populasi mereka berkurang menjadi hanya sepersejuta dari populasi semula.

Studi sebelumnya menunjukkan bahwa kemampuan bertahan hidup dari bakteri ini dipengaruhi oleh temperatur Mars yang membuat mereka membeku. Radiasi memiliki lebih sedikit efek buruk pada sel-sel yang membeku. "Suhu dingin bermanfaat di sini. Itu meningkatkan kesempatan untuk tahan dari radiasi," kata Dartnell.

Selain Deinococcus radiodurans, Dartnell juga meneliti tentang bakteri yang dia isolasi dari lembah kering di Antartika, tempat ketika suhu bisa mencapai -40 derajat celsius ketika musim dingin tiba. Bakteri tersebut berasal dari strain Brevundimonas. Hasil eksperimennya menunjukkan, bakteri itu bisa bertahan hidup selama 117.000 tahun di Mars.

Menanggapi eksperimen tersebut, Cassie Conley dari NASA mengungkapkan, "Semakin banyak kita belajar tentang makhluk hidup di Bumi, semakin banyak juga kita akan mengetahui bahwa makhluk hidup tersebut bisa hidup di luar Bumi."

Penelitian Dartnell dan koleganya dipublikasikan di jurnal Astrobiology yang terbit tanggal 17 Oktober 2010.

Minggu, 07 November 2010

Ini Dia Sosok Komet Hartley 2

Senin, 8 November 2010 | 06:05 WIB

Komet Hartley 2 direkam wahana Epoxi.

KOMPAS.com - Setelah melalui 4,6 miliar kilometer perjalanan pengejaran, wahana luar angkasa EPOXI milik NASA berhasil bergerak mendekati Komet Hartley 2 dan mengirimkan citra close up komet tersebut ke Bumi yang direkam dari jarak 700 kilometer.

Sekilas, penampilannya menunjukkan bahwa komet Hartley 2 memiliki bentuk yang belum pernah ditemui sebelumnya. Komet itu memiliki bentuk seperti kacang, bagian tengah yang lebih tipis dan halus memisahkan dua bagian ujung atau kutub komet yang lebih tebal dan kasar. Ukurannya diperkirakan dengan panjang 2 kilometer dan tebah di bagian tengah 0,4 kilometer.

Sementara itu, bagian belakang komet tersebut tampak bagai bagian pembuangan hasil pembakaran pada pesawat jet. Seperti komet umumnya, terdapat ekor gas yang terjadi akibat penguapan material komet (gas dan debu) akibat pergerakan komet yang mendekati matahari.

"Kami berpikir, bentuk kacang bisa didapatkan karena bagian ujung inti nukleus itu banyak menguap. Hasil penguapan itu yang mungkin terakumulasi dan menggumpal di bagian ujung," ujar Jessica Sunshine, salah satu peneliti yang terlibat dalam misi menganalisa komet ini, seperti dilansir situs National Geographic, pekan lalu.

Lebih lanjut, Sunshine mengatakan, "Pada bagian tengah tidak terlihat aktivitas penguapan sama sekali." Sunshine berspekulasi, bagian tengah yang halus adalah bagian yang diisi oleh penguapan material komet yang dihasilkan di kutub komet. Hasil penguapan dan debu tertarik ke bagian tengah komet karena gravitasi.

Kamis, 28 Oktober 2010

USD Kembangkan Alarm Gelombang Gempa


YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta mengembangkan alarm pendeteksi gelombang gempa yang dapat memberikan peringatan terjadi gempa bumi.

"Alarm ini fungsinya bukan memprediksikan akan terjadi gempa, tapi hanya sebagai alarm atau peringatan terjadi gempa dan alarm ini berbunyi sesuai dengan gelombang gempa yang ditangkap alat ini," kata pengelola alarm pendeteksi gelombang gempa USD, Rake, di Yogyakarta, Senin (25/10/2010).

Di sela mengikuti pameran Volcano 2010 di gedung kantor Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, ia mengatakan alarm ini hanya mendeteksi gelombang yang ditimbulkan dari gempa, dan hanya berfungsi sebagai peringatan semata kepada masyarakat tentang kuat atau lemahnya getaran gelombang gempa.

"Saat terjadi gempa ada dua gelombang yang ditimbulkan, yakni gelombang T dan gelombang S. Gelombang T terdapat saat sebelum terjadi gempa, yakni gelombang yang terdapat di pusat gempa atau episentrum. Sedangkan gelombang S adalah gelombang perusak yang biasanya dirasakan warga masyarakat saat gempa terjadi," katanya.

Selain itu, ia mengatakan dengan alarm pendeteksi gelombang gempa ini masyarakat akan dapat lebih mengetahui seberapa besar kekuatan gelombang gempa yang terjadi dengan melihat indikator yang ditunjukkan dengan warna sinyal lampu yang menyala.

"Dalam alarm pendeteksi gelombang gempa terdapat tiga indikator lampu sebagai sinyal yang menunjukkan seberapa besar kekuatan gelombang gempa itu. Jika warna merah dan hijau, diindikasikan kekuatan gelombang gempa sangat kuat. Sedangkan apabila kekuatan gelombang gempa kecil, maka indikator sinyal lampu tidak menyala," katanya.

Rake mengatakan alat pendeteksi gelombang gempa ini sangat mudah dioperasikan dan dapat dimonitor dari jarak jauh.

"Alarm ini dilengkapi dengan dua komponen yakni transmiter serta receiver," katanya.

Ia mengatakan cara pengoperasian alat ini hanya dihidupkan, dan dipasang antena yang cukup tinggi agar dapat menangkap gelombang magnet yang terdapat di pusat gempa.

"Dengan memasang antena yang cukup tinggi, maka semakin kuat untuk dapat mendeteksi gelombang gempa yang terdapat di pusat gempa," katanya.

Menurut dia, alarm pendeteksi gelombang gempa ini sudah dikembangkan sejak lama, namun masih perlu disempurnakan lagi.

"Sejak 2005 kami sudah mengembangkan alat ini, namun masih perlu disempurnakan lagi agar lebih efektif dan lebih optimal fungsinya," katanya.

Senin, 04 Oktober 2010

Jasa Terumbu Karang Capai Rp 10,8 Miliar

JAKARTA, KOMPAS.com — Jasa ekosistem terumbu karang mencapai Rp 1,17 miliar-Rp 10,8 miliar per hektar per tahun. Penghitungan ini menunjukkan arti penting terumbu karang bagi perekonomian manusia, tetapi terumbu karang sekarang dibiarkan menuju kehancuran akibat eksploitasi dan pencemaran pesisir yang tidak terbendung.

Menurut Program Officer Ekosistem Pesisir dan Pulau-pulau Kecil pada Yayasan Kehati Basuki Rahmad, manfaat ekonomi terumbu karang di Indonesia ditunjukkan, antara lain, sebagai tempat pemijahan ikan laut dunia. Ketika tempat pemijahan itu rusak, ikan dunia akan terus merosot jumlahnya.

Penghitungan nilai jasa ekosistem terumbu karang berkisar 130.000 dollar AS-1,2 juta dollar AS itu berdasarkan hitungan para ahli yang berkumpul dalam Konferensi Keanekaragaman Global di Cape Town, Afrika Selatan, beberapa bulan lalu.

Jasa ekosistem terumbu karang, antara lain, sebagai sumber makanan, bahan mentah, dan ornamental (1.100 dollar AS-6.000 dollar AS), regulasi iklim, menetralkan cuaca ekstrem, pemurnian air, kontrol biologi (26.000 dollar AS-35.000 dollar AS), jasa pariwisata (88.700 dollar AS-1,1 juta dollar AS), dan pemeliharaan keragaman genetik (13.500 dollar AS-57.000 dollar AS).

Sementara itu, "Kebijakan pemerintah di sektor tambang paling mengancam ekosistem terumbu karang," kata Basuki, Senin (19/4/2010), dalam konferensi pers menjelang peringatan Hari Terumbu Karang yang pertama kali diadakan bertepatan Hari Bumi, 22 April 2010.

Peringatan Hari Terumbu Karang (Coral Day) diselenggarakan di berbagai tempat meliputi Kepulauan Seribu, Jakarta; di Pulau Hari, Teluk Luar Kendari, Sulawesi Tenggara; Pulau Maratua, Kalimantan Timur; dan di Pulau Serangan, Bali.

Program meliputi penanaman karang, adopsi karang, pameran foto, pemutaran film, dan kegiatan tradisional menyesuaikan kondisi lingkungan setempat.

Frustrasi

Zainal Arifin, periset pada Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengemukakan, bekerja di bidang ekosistem kelautan menimbulkan frustrasi akibat sulit dimengertinya nilai penting terumbu karang. Untuk mengonservasi terumbu karang tidak bisa dipisahkan penyelamatan mangrove dan padang lamun.

”Perairan jernih adalah syarat tumbuh karena terumbu karang butuh sinar matahari untuk proses fotosintesisnya,” kata Zainal.

Menurut dia, mangrove berfungsi menahan laju sedimentasi dari daratan ke laut, sedangkan padang lamun mengendapkan materi padat ke dasar perairan sehingga perairan tetap jernih. Tetapi, konservasi mangrove dan padang lamun sekarang masih jauh dari kondisi ideal.

”Di Pulau Bintan ada percontohan pengelolaan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang dijaga baik,” kata Zainal.

Saat ini terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencakup wilayah 60.000 kilometer persegi, tetapi hanya 5 persen yang masih bagus. Menurut Zainal, industri rumput laut yang banyak dikembangkan di sejumlah wilayah perairan pesisir juga berdampak buruk bagi konservasi terumbu karang. ”Sulit dibayangkan ketika terumbu karang makin habis. Yang dibutuhkan adalah tata ruang yang harus ditaati,” katanya. (NAW)

Kamis, 23 September 2010

"Green Label" Plastik Ramah Lingkungan



Plastik Oxium mendapatkan Green Label dari InSWA (Indonesia Solid Waste Association) karena mampu terurai secara alami dalam waktu singkat yakni 2 tahun

Berdasarkan data InSWA, 100 persen masyarakat di dunia menghasilkan sampah, tapi hanya kurang dari 1 persen yang peduli terhadap pengelolaan sampah. Bahkan tidak seorang pun bersedia ketempatan sampah, meskipun itu hasil buangan dirinya sendiri.

"Saat ini rata-rata orang Indonesia menghasilkan sampah 0,5 kg dan 13 persen di antaranya adalah plastik. Jadi sebenarnya orang kita punya dosa 0,5 kg sampah tiap hari," ujar Ketua Umum InSWA, Sri Bebassari, Selasa (31/8/2010), dalam jumpa pers di Grand Indonesia, Jakarta.

Khusus untuk wilayah Jakarta, sampah bisa mencapai 6.000 ton/hari dan 13,25 persen juga berasal dari sampah plastik. Sri melihat adanya tren penggunaan plastik ini meningkat bahkan nyaris menyalip penggunaan kertas dalam pembuatan produk sehari-hari.

"Tapi masalahnya, plastik ini sulit didaur ulang, ia mengurai perlu waktu 500-1000 tahun," ujarnya. Oleh karena itu, salah satu ide bijak untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan plastik yang ramah lingkungan.

Maka melalui institusinya, InSWA, Sri pun memberikan sertifikasi Green Label bagi produk plastik yang telah lolos uji ramah di lingkungan setelah melalui tahap observasi dan uji lab BPPT. "Green Label adalah sertifikasi hijau yang diberikan pada produk ramah lingkungan yang dinilai aman dan tidak membahayakan kesehatan manusia," ujarnya.

Hingga saat ini, baru ada satu perusahaan yang memperoleh sertifikasi ini yakni PT Tirta Marta yang memproduksi plastik Oxium yang mampu diurai dalam waktu dua tahun saja. Plastik Oxium ini sudah mulai dipakai oleh sebagain besar ritel di tanah air seperti Indomaret, Carrefour, Alfamart, Hero, Giant, Superindo, Kemchick, dan Gramedia.

"Ke depannya kita sudah diajukan beberapa konsep Green Label tidak hanya untuk produk tapi juga untuk bangunan, Green building, Green Mall, dan lain-lain konsepnya masih kita susun," ungkap Sri.

Dengan adanya Green Label ini, Sri berharap ke depannya akan membuat lebih banyak pihak yang termotivasi untuk melakukan hal yang sama. "Kita selalu mengapresiasi setiap langkah kecil yang dilakukan masyarakat. Masalah sampah adalah masalah kita semua jadi memang harus ada peran serta dari seluruh stakeholder dan masyarakat untuk berkomitmen menyelamatkan bumi ini," tandas wanita yang sedari tahun 1980-an ini meneliti tentang sampah.

Rabu, 25 Agustus 2010

Manusia Hancurkan Habitat Penyu


Kompas, Sabtu, 21 Agustus 2010


Habitat penyu di pesisir Kabupaten Lampung Barat terancam hilang atau punah dalam beberapa tahun mendatang akibat pembangunan yang tidak berbasis lingkungan.

"Penyu yang mendarat di pantai Lampung Barat merupakan habitat terbesar di dunia dan jumlah penyu yang mendarat di sana dari tahun ke tahun terus menurun," kata Direktur LSM Mitra Bentala, Herza Yulianto, di Bandar Lampung.

Dia menjelaskan, kondisi pesisir Lampung barat saat ini telah mengakibatkan penyu enggan mendarat di kawasan tersebut.

"Sejumlah area hijau dari garis pantai hingga jarak 10 meter dari daratan banyak yang rusak. Salah satu penyebabnya karena telah mengalami alih fungsi menjadi permukiman," kata dia.

Jumlah habitat penyu, katanya, terus menurun dan ironisnya saat ini Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Lampung Barat belum memiliki data valid tentang jumlah terkini habitat itu.

"Kita dan DKP, sebagai pemilik kebijakan setempat, akan melakukan survei dan penelitian tentang jumlah pasti habitat penyu di Pesisir Lampung Barat untuk menjadi pijakan dasar dalam melakukan langkah pelestarian selanjutnya," kata dia.

Herza mengatakan, data terakhir yang dimiliki kedua instansi tersebut adalah data tahun 2006. Data tersebut menunjukkan ada empat jenis penyu yang biasa mendarat di pesisir Lampung Barat dan jumlahnya tinggal 165 ekor.

Penyu-penyu tersebut terdiri atas penyu hijau 30 ekor, penyu sisik 30 ekor, penyu belimbing 15 ekor, dan penyu lekang 90 ekor. Faktor penyebab populasi penyu yang mendarat di pesisir itu semakin menurun, kata Herza, selain karena berkurangnya luasan green belt area, juga didorong oleh berbagai faktor lain.

Sejumlah faktor pendorong tersebut adalah pemanfaatan penyu dan telur penyu yang tidak ramah lingkungan serta penangkapan dan perdagangan penyu yang tidak sah.

"Harga telur penyu di pasar saat ini sangat menggiurkan, Rp 10.000 per dua butirnya," kata dia.

Selain itu, Herza menambahkan, beberapa faktor pendukung penyebab menurunnya populasi penyu lainnya adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap biota penyu, pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan yang masih rendah, dan lemahnya koordinasi antar-stake holder.

"Harus ada kesinergian kerja sama dan kesamaan visi antarlembaga swadaya masyarakat, pihak swasta, masyarakat, dan pemerintah untuk menyelamatkan penyu," kata dia.

Populasi penyu yang mendarat di Pantai Pesisir Lampung Barat termasuk terbesar di dunia karena empat dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia mendarat di wilayah itu.

Panjang garis pantai di kabupaten itu adalah 210 km atau sekitar 19 persen dari garis pantai di Provinsi Lampung, serta luasnya 1.105 kilometer persegi dengan potensi lestari hasil laut (ikan, lobster, tuna, penyu) mencapai 90.000 ton per tahun.

Pada tahun 2005, DKP Lampung Barat mencanangkan zona kawasan konservasi laut daerah (KKLD) di sepanjang jalur pantai pesisir Kabupaten Lampung Barat.

Selasa, 10 Agustus 2010

Mangrove Jawa dan Bali, 68 Persen Rusak Rabu, 28 Juli 2010 | 12:12 WIB

Barisan ajir (batang bambu untuk penopang bibit mangrove) dengan jarak tanam yang rapat terendam sepanjang puluhan kilometer di sepanjang garis pantai sebelah barat muara Kali Rambatan Baru, Desa Lamaran Tarung, Kecamatan Cantigi, Indramayu, Jawa Barat, Minggu (8/6). Tidak tampak satu pun bibit mangrove yang tertanam menempel pada ajir. Lokasi tersebut sebenarnya bukan habitat mangrove karena bukan lahan pasang surut.


JAKARTA, KOMPAS.com - Kemusnahan mangrove di pesisir utara Jawa dan Bali di ambang pintu. Data yang dirilis LSM lingkungan KIARA menyebutkan, kerusakan hutan mangrove mencapai 68 persen dari periode 1997-2003. Sebagai area pemijahan dan asuhan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan, mangrove memberi arti penting bagi nelayan dan masyarakat pesisir. Untuk itu, pemerintah perlu menyegerakan upaya pemulihan kawasan pesisir.

"Rusaknya ekosistem mangrove disebabkan oleh limbah antropogenik daratan di sekitar pantai, khususnya limbah industri. Juga akibat konversi lahan pantai untuk kepentingan industri, kawasan perniagaan, dan permukiman mewah," kata Abdul Halim, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dalam siaran persnya, Rabu (28/7/2010).

Hingga 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan pemulihan kawasan pesisir seluas 1.440 hektare (ha) dari kerusakan lingkungan di sepanjang pantai nasional. Dari target 2014 seluas 1.440 ha, diharapkan capaian per tahunnya mencapai 401,7 persen.

"Besaran target yang dipatok harus dibarengi dengan kesungguhan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam melaksanakan program. Kesungguhan ini bisa diwujudkan jika program yang dijalankan tidak berpangku pada ketersediaan anggaran semata, melainkan pada tujuan mulia program, yakni mengembalikan fungsi-fungsi ekologis dan sosial ekosistem pesisir. Dalam kondisi inilah, partisipasi nelayan dan masyarakat pesisir penting untuk dilibatkan," papar Halim.

Pada prinsipnya, mangrove adalah daerah pemijahan dan asuhan bagi ikan, udang, dan kerang-kerangan. Daerah pesisir yang memiliki mangrove juga berfungsi sebagai daerah penyangga atau filter akibat pengaruh daratan, seperti penahan sedimen dan melindungi pantai dari erosi, serta gelombang dan angin kencang.

"Hilangnya mangrove akibat konversi dan proyek reklamasi juga turut memusnahkan hutan mangrove di wilayah pesisir. Bahkan, di Langkat, Sumatera Utara, kami menemui beralihnya hutan mangrove menjadi perkebunan sawit. Inilah bentuk penghancuran hutan mangrove," jelas Halim.

Menanti Jejak Hilal di Awal Bulan

KOMPAS.com - Umat Islam menjadikan penampakan hilal sebagai awal masuknya bulan dalam penanggalan Hijriah. Meski setiap bulan terlihat, hilal di Bulan Ramadhan dan Syawal paling sering dibicarakan karena terkait dimulainya puasa dan lebaran Idul Fitri. Nampak tidaknya hilal sering membuat perbedaan awal dimulainya puasa dan lebaran di kalangan umat Islam. Sebab, ada yang berpandangan perhitungan hisab saja sudah cukup untuk menentukan awal bulan, namun ada yang tetap berpandangan bahwa hilal harus terlihat.

Melihat hilal memang bukan hal yang gampang karena hanya nampak sesaat berbentuk bulan sabit yang sangat tipis di ufuk barat setelah Matahari terbenam. Belum lagi apabila arah pandang tertutup lapisan awan tebal. Namun, dengan adanya teropong dan teleskop yang disebar di berbagai lokasi, pengamatan hilal terbantu. Apalagi dengan bantuan software astronomi untuk memperkirakan posisi penampakan hilal. Kegiatan rukyatul hilal pun menjadi semakin akurat.

Pada dasarnya hilal atau bulan baru merupakan bagian dari perjalanan rotasi Bulan mengelilingi Matahari dan sistem tata surya. Posisi Bulan terhadap Bumi dan Matahari yang menjadikan bentuk bulan yang terlihat dari Bumi berubah-ubah dari hari ke hari mengalami siklus antara sabit dan purnama. Cahaya Bulan yang terlihat dari Bumi itu merupakan pantulan cahaya Matahari sesuai posisinya terhadap Bumi dan Matahari.

Nah, kombinasi rotasi Bumi, perputaran Bulan terhadap Bumi, dan perputaran Bumi terhadap Matahari membuat di akhir bulan seperti saat ini, Bulan dan Matahari seolah-olah bergerak bersama dari timur ke barat dengan posisi yang berdekatan jika dilihat dari Bumi. Inilah peristiwa yang disebut konjungsi geosentrik atau ijtima'.

Menurut perhitungan Badan Meteorologi Klimatologi dan geofisika (BMKG), pada Selasa (10/8/2010), pukul 10.08 WIB, Matahari dan Bulan akan berada di bujur ekliptika yang sama. Namun, karena tidak tepat sejajar, peristiwa tersebut tidak sampai menimbulkan gerhana bulan. Juga jangan harap melihat Bulan di siang bolong saat ini karena tidak ada cahaya yang dipantulkan Matahari di permukaan Bulan ke Bumi.

Matahari akan terbenam di wilayah Indonesia paling awal terjadi pada pukul 17.38 WIT di Merauke dan paling akhir pada pukul 18.54 WIB di Sabang. Sementara Bulan menyusul beberapa menit kemudian. Saat Matahari terbenam itulah, pantulan cahaya di permukaan Bulan akan terlihat dari Bumi.

Selasa, 02 Maret 2010

JURNAL GEOGRAFI SMAN 13 BANDUNG: Jalan-jalan ke Karst Citatah Bandung

JURNAL GEOGRAFI SMAN 13 BANDUNG: Jalan-jalan ke Karst Citatah Bandung

Jalan-jalan ke Karst Citatah Bandung

Kunjungan kerja ke gua pawon

Oleh : Asefful Anwas

Selasa, 2 Februari 2010

Pada hari masa usai liburan, Minggu tanggal 17 Januari, kami siswa SMA Negeri 13 Bandung pergi mengunjungi gua Pawon yang ada di Citatah Padalarang Kabupaten Bandung Barat. Kunjungan resmi bersama-sama guru-guru terutama bidang Geografi, juga beserta guru sejarah, Pendidikan lingkungan hidup dan Kimia. Siswa yang dibawa pergi kesana juga mulai dari kelas X, kelas XI dcan Kelas XII serta alumni angkatan kemarin serta alumni praktikan geografi tahun kemarin.

Kunjungan ini sebenarnya merupakan semacam studi lapangan untuk meneliti Gua Pawon, sejauh mana keberadaan Gua Pawon itu sebenarnya. Sejauh mana kerusakan gunung tersebut dan gunung sekitarnya beserta situs yang ada akibat gempuran industry kapur yang ada. Batuan kapur untuk menghasilkan kapur yang siap pakai untuk dipakai dalam industry lain misalnya bahan bangunan, bahan untuk cat, dan marmer dan lain sebagainya.











Gunung kapur Pawon

Ada beberapa hal yang menarik dari fenomena di atas yaitu lokasi gunung kapur tersebut tidak jauh dari kota bandung yaitu sekitar 25 km, artinya jarak tempuh bila memakai kendaraan roda empat maupun motor tidak lebih dari perjalanan satu jam. Bahkan wilayah gunung kapur tersebut masih berada di kawasan kabupaten bandung barat. Namun ketika keluar dari jalur jalan bandung Jakarta masuk ke jalan yang lebih kecil baru terasa keadaan yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung dengan kondisi jalan yang rusak dan tidak beraspal hanya beralaskan batu.

Ada beberapa hal yang menakjubkan selama perjalanan kesana dari mulai keluar jalur jalan aspal pemandangan terasa sejuk dengan pemandangan gunung gunung yang menjulang sangat tinggi dan tegak puluhan meter bagai raksasa dengan bagian yang keras karena terdiri batuan kapur, artinya kejadian ini dulunya merupakan laut dangkal dengan penuh karang-karang atau coral reefs. Coral reef adalah rumah-rumah binatang karang dimana bahan-bahan terbuat dari kapur atau caco3 yang diambil dari laut oleh binatang tersebut. Tapi kapan kejadiannya yaitu masa kenozoikum yaitu sekitar 25 sampai dengan 30 juta tahun yang lalu dimana dulunya wilayah ini adalah laut dangkal penuh dengan binatang karang yang kemudian terangkat karena benturan lempeng Eurasia dan indoaustralia sehingga menjadi sekarang ini.











Sedang menerima penjelasan dari kang Bahtiar ahli geografi lapangan

Jarak antara pantai selatan jawa barat dengan wilayah kapur citatah padalarang sekitar 100 km sampai dengan 125 km. lokasinya sudah ditengah wilayah jawa barat. Bagian lempeng benua Eurasia yang tebal terangkat didesak oleh lempeng samudra indoaustralia sehingga membentuk pertemuan antar lempeng menjadi busur luar non vulkanik dan busur dalam yang vulkanis, seperti gunung kapur yang sekarang ini. Akibat vulkanisme juga maka batuan kapur ada yang bermetamorfosis menjadi batuan metamorf kontak dengan suhu vulkanik yang panas sehingga menghasilkan batu pualam yang putih maupun berserat karena ada mineral lain yang masuk, misalnya besi, magnesium, dll. Dengan demikian pantaslah menjadi suatu incaran bagi para pengusaha untuk mendirika industry kapur mulai untuk bahan bangunan, maupun keperluan lain.











Sedang melihat langit gua yang tinggi

Gua Pawon merupakan suatu situs yang makin menarik untuk dibahas karena memuat hal-hal kehidupan masa lalu masyarakat bandung. Menurut ahli geolog belanda Van bemelen bahwa wilayah bandung dulunya adalah danau dimana sungai citarum dan sungai lainnya bermuara ke danau tersebut. Jadi gua pawon adalah batas pesisir danau tersebut dimana manusia jaman dulu kehidupannya tidak bisa terlepas dari air baik sungai maupun danau. Mereka hidup dan bermukim serta berlalu lintas lebih banyak diperairan karena berbahayanya oleh binatang buas lewat jalan darat. Jadi sebenarnya gua pawon itu menjadi tempat berteduh dan bermukimnya manusia bandung tempo dulu. Sehingga ditempat itulah banyak dikenal barang-barang keperluan untuk berburu, makan maupun tempat kuburannya berada. Ada beberapa bukti makam yang ada ditemukan baru-baru ini dari lapisan bawah dasar gua pawon tersebut. Kehidupan tersebut perkiraan pada masa 9000 tahun yang lalu, jadi masih primitive jika dibandingkan masa kini, peralatan mereka lebih banyak ke batu.











Para guru pembimbing dan konsultan sedang berfose diujung atas gua pawon

Mungkin itulah oleh-oleh pengetahuan yang didapat dari lapangan sehingga apa yang ada disekitar lingkungan kita bisa kita ambil sebagai pengetahuan tambahan dalam berbagai pelajaran baik geografi, sejarah, sosiologi maupun kimianya. Semoga pula wilayah karst citatah menjadi kawasan industry yang berwawasan lingkungan yang dan menghargai situs budaya daerah serta bermanfaat bagi kita semua. Wassalam.