Senin, 08 Agustus 2011

Minggu Ini, Badai Matahari Sambar Bumi


Lidah api matahari yang direkam satelit Solar Dynamics Observatory
(SDO) dibandingkan ukuran Bumi.

Tiga letupan besar di permukaan Matahari sepanjang minggu lalu bakal menimbulkan gelombang badai elektromagnetik yang menyambar Bumi dalam beberapa hari ini. Dampak badai Matahari bisa menyebabkan gangguan satelit, perangkat telekomunikasi, serta elektronik dalam beberapa hari ke depan. Pemerintah Amerika Serikat bahkan secara khusus mengeluarkan peringatan risiko tersebut.

"Badai Matahari yang akan terjadi berikutnya mungkin memiliki level sedang atau kuat," kata Joseph Kunches, ilmuwan dari Space Weather Prediction Center, divisi dari National Oceanic and Atmospheric Adaministration (NOAA).

Kunches mengungkapkan, badai Matahari yang terjadi minggu lalu dan berikutnya bisa berdampak pada satelit komunikasi dan Global Positioning System (GPS) dan bahkan dapat menciptakan aurora yang bisa dilihat dari wilayah Minesota dan Winconsin, Amerika Serikat.

Aurora yang tercipta, disebut aurora borealis, merupakan cahaya alami yang bisa dilihat di wilayah Artik dan Antartika. Fenomena itu terbentuk akibat tumbukan antara partikel berenergi tinggi dengan atom di lapisan atas atmosfer.

Menurut NOAA, kerusakan besar akibat badai Matahari jarang terjadi, namun pernah dilaporkan adanya dampak serius. Pada tahun 1989 misalnya, badai Matahari mengakibatkan pembangkit listrik di Quebec, Kanada, lumpuh sehingga warga setempat harus hidup tanpa listrik selama berjam-jam.

Sementara, dampak terbesar badai Matahari terjadi pada tahun 1859. Badai Matahari melumpuhkan sistem komunikasi telegraf di seluruh dunia dan mencipatakan aurora yang bisa dilihat hingga Karibia.

Sistem telegraf dilaporkan terus mengirimkan sinyal walaupun baterai telah dicopot. Bagaimana dengan dampak badai Matahari kali ini? Kunches mengungkapkan, "Saya pikir badai Matahari yang terjadi kali ini tak akan mendekati itu. Ini akan ada pada angka dua atau tiga dari lima pada skala NOAA Space Weather."

Tapi, tetap harus diwaspadai. Badai Matahari pertama yang terjadi minggu lalu mengakibatkan sedikit dampak di Bumi. Sementara badai yang kedua lebih kuat. Yang ketiga, masih belum dilaporkan, tetapi kemungkinannya bisa memperburuk badai Matahari yang kedua atau tidak berdampak sama sekali.

Direktur Space Weather Prediction, Tom Bogdan, mengatakan bahwa puncak badai Matahari terjadi setiap 12 tahun sekali. Seperti dikutip Reuters, Jumat (5/8/2011), ia memperkirakan badai Matahari berikutnya akan terjadi pada tahun 2013.

Sumber : Kompas, 8/8-2011


Sabtu, 09 Juli 2011

4 Spesies Primata Indonesia Nyaris Punah


Pongo Abelii alias Orangutan Sumatera

Tahukah Anda bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jenis primata paling bervariasi di dunia? Dari 200 jenis primata yang tercatat di muka Bumi, di Indonesia terdapat 40 jenis atau sekitar 25 persen.

Ironinya, dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen terancam punah akibat banyak habitat primata yang rusak dan penangkapan ilegal untuk diperdagangkan. ProFauna Indonesia mencatat setiap tahunnya ribuan kera hasil tangkapan alam diperdagangkan di Indonesia untuk dikonsumsi atau dijadikan satwa peliharaan.

"Sampai saat ini masih ada pengiriman. Kalau dipelihara sepertinya hanya sedikit, lebih banyak dikonsumsi, otak dan dagingnya," kata Ketua Pro Rosek Nursahid di sela-sela kampanye penyelamatan primata di Renon, Denpasar, Minggu (3/7/2011).

Tingginya angka konsumsi primata di Indonesia terjadi karena sebagian masyarakat masih percaya mitos bahwa kera dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, salah satunya asma, meski sampai saat ini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

Akibat eksploitasi yang membabi buta ini, sedikitnya 4 primata asal Indonesia benar-benar akan punah jika tidak segera diselamatkan. Mereka adalah orangutan sumatera (Pongo abelii), kukang jawa (Nyeticebus javanicus), tarsius siau (Tarsius tumpara), dan simakubo (Simias cocolor).

Menyelamatkan mereka tak cukup dengan mengandalkan kepedulian para LSM pecinta satwa saja, tetapi kesadaran dari seluruh masyarakat dan pemerintah untuk saling mengingatkan pentingnya menjaga habitat bangsa kera dan monyet yang merupakan bagian dari kekayaan alam Indonesia ini.

Hiu Air Tawar Papua


WWF/Will White CSIRO Marine & Atmospheric Research.
Hiu air tawar (Glyphis garricki).

Lebih dari 1.000 spesies ditemukan dalam penelitian di Papua dan Papua Nugini selama tahun 1998-2008. Satu yang paling mencengangkan adalah penemuan hiu air tawar yang diberi nama ilmiah Glyphis garricki. Jenis baru ikan hiu tersebut ditemukan pada tahun 2008 oleh pakar ikan asal Selandia Baru, Jack Garrick.

Saat itu, Garrick menemukan 2 individu yang baru lahir di wilayah Port Romilly, Gulf District, Papua Nugini. Laporan WWF yang dipublikasikan tahun ini menyebutkan, hiu air tawar banyak ditemukan di sungai-sungai besar Asia seperti Gangga.

Glyphis garricki ialah satu dari 6 spesies dalam genus Glyphis yang dideskripsikan. Sejak saat penemuannya hingga kini, hanya 16 individu hiu air tawar yang ditemukan di rentang wilayah Papua hingga Australia.

Spesimen terbesar dinamakan Northern River Shark, berukuran panjang 2,5 meter. Sedikitnya individu yang ditemukan membuat Glyphis garricki tergolong langka. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan ikan ini dalam kategori "Terancam" di Daftar Merahnya.

Ikan hiu air tawar hanyalah satu dari 71 spesies ikan yang ditemukan di Papua dan Papua Nugini dalam jangka waktu yang disebutkan di atas. Jenis ikan Chrysiptera cymatilis juga ditemukan di Pantai Milne, Papua Nugini. Jenis ikan yang istimewa lainnya ialah Cirrhilabrus cenderawasih, ditemukan di wilayah kepala burung Papua. Jenis ikan ini memiliki corak warna begitu indah sehingga pejantannya memanfaatkannya untuk menarik betina ketika hendak kawin.

Sama halnya dengan satwa lain, banyak ikan di Papua dan Papua Nugini terancam oleh aktivitas perusakan habitat. Penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan juga merupakan salah satu ancaman.

Rabu, 08 Juni 2011

Konflik Gajah-Manusia Tak Berkesudahan



Gajah sumatera liar masuk ke perkebunan Kampung Bekasab, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, Senin (30/5/2011). Rusaknya habitat Gajah Sumatera di Suaka Margasatwa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau karena alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan dan pemukiman mengakibatkan meningkatnya konflik gajah liar dengan penduduk.

Gulita malam menutup pemandangan Kampung PPN, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Berbeda dari hari biasa, sudah sepekan warga Kampung PPN yang sebagian besar petani karet dan sawit tak bisa tidur nyenyak, disibukkan dengan jadwal ronda malam. Kali ini buruan mereka bukan maling yang menyelinap diam-diam ke rumah warga.

Beberapa warga terlihat duduk di gubuk beratap rumbia yang dibangun di tengah perkebunan karet. Sapriman, Ketua RT 06 Kampung PPN, dan warga masing-masing berjaga-jaga dengan petasan di tangan.

Dari kejauhan mendadak rentetan bunyi petasan terdengar. Tanpa komando warga beranjak bergerak membelah lebatnya semak belukar, mengendap di antara pohon karet dan sawit, mengarahkan senter ke segala arah untuk menemukan dan menghalau gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) liar yang masuk di perkebunan.

Menghalau Gajah
Warga menghalau gajah liar dengan petasan di perkebunan karet Kampung PPN, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, Minggu (29/5/2011). Rusaknya habitat Gajah Sumatera di Suaka Margasatwa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan permukiman sehingga mengakibatkan meningkatnya konflik gajah liar dengan penduduk.

Tidak kurang dari 20 orang ronda malam itu. Hampir sepanjang hari mereka terus memantau pergerakan mamalia raksasa ini. Berbagai upaya pun telah dilakukan untuk mengusir kawanan gajah yang merusak pohon sawit.

Di tengah perkebunan, warga memasang pelita, membakar semak-semak untuk menakut-nakuti gajah bahkan mengusirnya dengan bunyi-bunyi petasan. Namun, tampaknya gajah liar masih enggan beranjak keluar dari kebun mereka.

Tidak terhitung berapa ratus petasan yang telah diletupkan warga untuk menghalau kawanan gajah liar selama sepekan. Biayanyapun terbilang tidak murah. Untuk sebatang petasan, warga harus merogoh kocek sebesar Rp 13.000 hingga Rp 15.000. Hendri warga desa bahkan mengaku sedikitnya membakar 15 petasan dalam semalam.

Menghalau Gajah
Warga membakar semak belukar untuk menghalau gajah liar masuk ke perkebunan sawit Kampung Bekasab, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, Senin (30/5/2011). Rusaknya habitat Gajah Sumatera di Suaka Margasatwa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan permukiman sehingga mengakibatkan meningkatnya konflik gajah liar dengan penduduk.

Bagi warga Kampung PPN, serangan kawanan gajah liar di areal perkebunan sawit bukanlah kali pertama. Menurut Sapriman, serangan tersebut bahkan telah terjadi sejak 20 tahun terakhir.

"Kampung ini memang menjadi lintasan gajah liar mencari makan. Mereka akan selalu kembali lagi ke sini. Kalo tidak dihalau satu hektar kebun sawit bisa habis dalam semalam," ujarnya.

Gajah Kawin
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) menjalani masa kawin di kawasan perkebunan Kampung Bekasab, Kelurahan Pematang Pudu, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau, Senin (30/5/2011). Rusaknya habitat Gajah Sumatera di Suaka Margasatwa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan dan permukiman sehingga mengakibatkan meningkatnya konflik gajah liar dengan penduduk.

Konflik gajah liar dengan warga di Riau tak lepas dari hilangnya habitat gajah sumatera di kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja. Dari data World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, kawasan suaka margasatwa seluas 18.000 hektar yang dulu kaya akan tumbuhan meranti, balam, bintagur, kempas, kelat, kulim, giam, dan rotan kini tak lebih dari 200 hektar atau tersisa satu persen dari luas total suaka margasatwa.

Kawasan suaka margasatwa dibabat dan berubah wajah menjadi areal perkebunan sawit dan karet. Konversi hutan menjadi lahan perkebunan mengusir kawanan gajah liar dari habitatnya. Mereka dihalau dari kampung ke kampung, berpindah dari perkebunan yang satu ke perkebunan lainnya.

Celakanya, perambahan hutan dan konversi kawasan suaka margasatwa tidak hanya dilakukan perambah liar dan perusahaan besar. Bahkan, melalui pemberian izin-izin pembukaan lahan, pemerintah telah turut andil menciptakan konflik gajah dan warga yang tidak akan berkesudahan.

Konflik gajah liar dengan warga tidak hanya menelan kerugian ekonomi. Tak sedikit nyawa manusia melayang akibat amukan gajah liar. Tak jarang pula gajah liar meregang nyawa diracun warga.

Sabtu, 02 April 2011

Ganggang Mikro Bersihkan Limbah Nuklir



Para pekerja di PLTN Fukushima, Jepang, Rabu (23/3/2011), berupaya untuk mendinginkan PLTN itu. Sistem pendingin reaktor PLTN itu rusak akibat gempa dan tsunami pada 11 Maret lalu.

Closterium moniliferum, salah satu jenis ganggang mikro yang hidup di air tawar, memiliki potensi untuk membersihkan limbah nuklir yang larut dalam air. Potensi tersebut dipaparkan oleh ilmuwan Northwestern University di Evanston Illinois, Minna Krejci, dalam acara American Chemical Society di Anaheim, California.

Menurut Krejci, alga tersebut mampu membersihkan limbah Strontium-90, salah satu limbah nuklir paling berbahaya dan memiliki waktu paruh 30 tahun. Closterium moniliferum akan menyaring Strontium-90 dari air, mengakumulasi dalam bagian sel-nya yang disebut vakuola dan mengendapkannya dalam bentuk kristal.

Ada sekian tantangan untuk mewujudkan potensi itu. Pertama, limbah reaktor nuklir maupun material radioaktif yang tak sengaja keluar lebih kaya akan kalsium daripada strontium. Ini mempersulit akumulasi strobnsium ke sel alga tanpa harus mengakumulasikan klasiumnya. "Kita butuh metode pemilihan yang sangat selektif dan efisien," kata Krejci.

Kedua, sebenarnya alga ini lebih "cinta" pada Barium sehingga cenderung mengambil unsur tersebut daripada strontium. Tapi, karena strontium memiliki ukuran dan karakteristik antara barium dan kalsium, maka nantinya strontium juga akan terambil. Sementara, kalsium yang memiliki sifat lebih jauh dari unsur tersebut akan tertinggal atau tak terakumulasi.

Kini Kreijci sedang berupaya untuk mengetahui pembentukan kristal dan akumulasi strontium yang lebih selektif. Sejauh ini, telah diketahui bahwa alga tak pernah sengaja membawa strontium ke dalam sel. Kristal terbentuk karena tingginya konsentrasi sulfat dalam vakuola, menyebabkan barium dan strontium dengan kelarutannya yang rendah cepat mengendap.

Untuk mengoptimalkan akumulasi strontium, Kerijci punya beberapa alternatif. Limbah reaktor nuklir atau material radioaktif yang tak sengaja keluar bisa diperkaya dengan barium sehingga memacu alga untuk mengambil strontium pula. Menurut Kreijci, ini bukanlah hal sulit sebab hanya sedikit saja barium yang dibutuhkan.

Kemungkinan lain adalah merekayasa konsentrasi sulfat di lingkungan alga tumbuh sehingga akan mempengaruhi perubahan konsentrasi sulfat di dalam vakuola. "Sekali kita mengetahui bagaimana sel merespon kondisi ini, kita bisa berpikir dengan lebih elegan tentang cara memanipulasinya," papar Kreijci yang memublikasikan idenya di Jurnal Nature.

Hingga kini Kreijci belum mengetes ketahanan Closterium moniliferum di lingkungan radioaktif. Tapi, meski ketahanannya rendah, alga pasti bisa mengakumulasi strontium sebab prosesnya cuma memakan waktu singkat. "Hanya 30 menit hingga 1 jam untuk mengendapkan kristal. Jika tambahan dibutuhkan, mereka mudah untuk dikulturkan," kata Kreijci.

Gija Geme, ahli kimia dari University of Central Missouri mengatakan, "ini adalah hot topics." Menurutnya, kajian Krejci tentang pengakumulasian logam sangat signifikan dampaknya bagi lingkungan. Ia meminta Kreijci untuk tak terlalu lama meneliti mengapa alga mengakumulasi unsur tersebut sebelum mengetesnya langsung dalam membersihkan limbah radioaktif.

Kamis, 03 Maret 2011

Habitat Orangutan Jambi Habis Dirambah


Seekor bayi orangutan (Pongo pygmaeus) berusia satu bulan bernama Zumi berlindung dalam dekapan induknya yang bernama Sarah (15) di Kebun Binatang Bandung, Tamansari, Bandung, Jawa Barat, Senin (12/4/2010). Bayi orangutan dari pejantan Simon (40) ini diharapkan bisa menjadi penerus populasi satawa orangutan yang terancam punah.

Sebanyak 180.000 hektar ruang hidup orangutan Sumatera di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi, habis dirambah masyarakat. Aktivitas ilegal tersebut masih terus berlangsung sehingga mengancam keberlanjutan konservasi satwa liar yang dilindungi itu.

Direktur Program Frankfurt Zoological Society (FZS)—yang menangani reintroduksi orangutan sumatera (Pongo abelii) di Jambi—Peter Pratje mengatakan, terjadi perusakan hutan cukup masif dalam delapan tahun terakhir.

Perambahan liar mengakibatkan rusaknya 180.000 hektar dari sekitar 360.000 hektar blok hutan dataran rendah di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Kawasan yang berstatus sebagai hutan produksi yang ditinggalkan para pemegang konsesinya merupakan ruang hidup orangutan yang dilepasliarkan untuk konservasi.

”Perambahan terus terjadi dan belum berhenti selama tidak ada penetapan aturan yang tegas dari pemerintah terhadap hutan-hutan itu,” ujar Peter, Selasa (1/3/2011).

Berdasarkan analisis citra tahun 1985, ekosistem Bukit Tigapuluh seluas 651.232 hektar masih memiliki tutupan hutan sebanyak 95 persen, tetapi pada 2005 menyusut menjadi 77 persen. Tahun 2010, tutupan hutan kawasan ini tersisa 49 persen.

Untuk menjamin keberlangsungan hidup orangutan sumatera, pemerintah perlu merestorasi hutan di ekosistem Bukit Tigapuluh. ”Ada sekitar 110.000 hektar hutan pada ekosistem Bukit Tigapuluh yang dapat diselamatkan dengan cara merestorasi ekosistem. Konversi hutan untuk tanaman industri hanya akan mengancam keberadaan orangutan,” tutur Peter.

Minggu (27/2), delapan orangutan sitaan dari Aceh dan Medan tiba di Jambi untuk menjalani reintroduksi atau pengenalan kembali hidup di alam liar.

Manajer Reintroduksi Orangutan FZS Julius Paolo Siregar mengatakan, semua orangutan hasil sitaan petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Medan akan dilatih dalam stasiun, sebelum dilepasliarkan pada musim berbuah pertengahan tahun ini. Satu di antaranya, Morgan, masih berusia 1,5 tahun. Sebanyak 129 orangutan sitaan petugas telah dilepas kembali ke hutan penyangga sekitar TNBT sejak tahun 2002.

Sabtu, 29 Januari 2011

Fenomena "Crop Circles" Terjadi sejak 1686



listentrue.livejournal.com
Crop circles yang membentuk pola cantik di luar negeri.
Foto:
1 2 3

JAKARTA, KOMPAS.com — Misteri crop circles seperti terjadi di sawah Desa Rejosari, Jogotirto, Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Minggu (23/1/2011), memang fenomena baru di Indonesia.

Namun, di luar negeri fenomena itu sudah dicatat sejak lama, bukan dari abad lalu saja. Pada 1686, Prof Robert Polt, LDD menulis dalam penerbitan A Natural History of Staffordshire.

Robert Poll adalah "penjaga" pertama Museum Ashomolean dan profesor kimia di Oxford. Ia menggambarkan, bentuknya bukan hanya lingkaran, melainkan area yang rata "terdiri tiga bagian dari lingkaran, lainnya adalah setengah lingkaran, beberapa lagi kuadran."

Bentuk-bentuk itu ditemukan di lahan yang subur dan di padang terbuka. Bukan hanya satu, kadang-kadang bahkan dua dan tiga lingkaran.

Lantas, pada Juli 1880 terbit sebuah jurnal ilmiah prestisius, Nature, yang memuat surat dari seorang spectroscopist bernama J Rand Capron. Ia menggambarkan temuannya soal formasi unik di Inggris bagian selatan.

"Membentuk spot bundar dengan beberapa tangkai yang berdiri sebagai pusatnya, beberapa tangkai ambruk dengan bagian kepala tertata apik membentuk lingkaran di sekitar pusat, dan di luarnya adalah lingkaran tangkai yang utuh."

Capron menduga bentuk itu akibat "angin topan". Ia juga menyeratakan sketsa lingkaran itu, tetapi tidak dimuat oleh Nature.

Setelah itu, lebih banyak lagi catatan tentang munculnya bentuk-bentuk misterius tersebut dengan pola yang berbeda-beda dan bahkan sangat menakjubkan.

Di Inggris, ia sering kali muncul di dekat situs-situs kuno, seperti Stonehenge yang terkenal karena bebatuan raksasa tersusun teratur dan mengesankan betapa manusia kuno sudah mempunyai teknologi canggih untuk membangunnya.

Namun, crop circles juga muncul di Amerika Serikat yang tergolong tidak mempunyai jejak peradaban kuno, kecuali wilayah yang semula didiami oleh bangsa Indian kuno.

Kini, di Amerika pula ada kelompok studi yang mempelajari fenomena ini secara ilmiah, namanya Burke, Levengood, Talbott (BLT) Research Team.

Mereka mendokumentasikan banyak sekali fenomena crop circles, mewawancarai para saksi mata, dan menganalisisnya dari berbagai segi. Namun, mereka pun belum mempunyai jawaban memuaskan. Crop circles masih misteri hingga kini.

Rabu, 12 Januari 2011

Bahtera Nuh Baru Dibangun oleh Rusia

Selasa, 11 Januari 2011 | 15:19 WIB

Bagian Ark Hotel yang terapung

KOMPAS.com - Bahtera Nuh baru dikembangkan oleh para arsitek asal Rusia. Kali ini, bahteranya berwujud hotel yang dinamai "Ark Hotel". Bahtera yang berwujud hotel ini, dalam konsep yang ditunjukkan Senin (10/1/2011), dibangun untuk mengatasi bencana banjir akibat kenaikan pemukaan air laut.

Ketika bencana banjir terjadi, hotel ini bisa melayang di air laut sehingga mampu menyelamatkan manusia yang ada di dalamnya. Dalam kondisi tersebut, hotel yang didesain berbentuk cangkang ini juga masih bisa menyediakan energi bagi penghuninya sebab bagian dalamnya ditanami pohon.

Selain mengatasi banjir, hotel ini juga dikatakan tahan gempa. Para arsitek yang membangunnya mengatakan, rangka dan desain hotel mampu menyebarkan berat secara merata sehingga bisa mengamankan penduduk dari bencana gempa bumi yang mungkin terjadi.

Hotel ini juga memiliki panel surya dan penampung air hujan yang akan memberikan energi dan air secara alami. Bagian dalam hotel dilengkapi dengan vegetasi tumbuhan yang selain memberikan kualitas udara yang baik juga bisa menjadi sumber bahan pangan.

Eksterior hotel terbuat dari bahan yang transparan untuk memastikan tercukupinya cahaya. Kontrol intensitas cahaya dilakukan dengan adanya filter di bagian dalam ruangan. Sementara, sebuah lapisan khusus juga digunakan untuk memastikan kualitas cahaya yang masuk ruangan.

Hotel ini dibangun oleh firma arsitektur Remistudio Rusia dan International Union of Architect. Alexander Remizow dari Remistudio mengatakan, "Hotel ini dibangun untuk menjawab tantangan yang ada saat ini. Dibangun untuk mendukung sistem kehidupan yang independen."

Tantangan yang dimaksud diantaranya adalah kebutuhan pengamanan dan perlindungan dari efek perubahan iklim serta kondisi lingkungan yang ekstrim. Selain itu juga akan menjawab kebutuhan perlindungan dari aktivitas manusia yang merusak.

Untuk membangun sistem kehidupan yang independen, Remistudio mengatakan, "Semua tanaman telah dipilih berdasarkan kesesuaian, efisiensi dalam mengatur pencahayaan dan kemampuan dalam memproduksi oksigen. Atap yang transparan mebuat tanaman bisa mendapatkan cahaya yang cukup."