Kamis, 28 April 2016

Mengapa Kita Masih "Kalah" dari Malaysia?

 
Lulus kuliah mau jadi ilmuan?
KOMPAS.com – Jumlah karya ilmiah di Indonesia memang masih jauh tertinggal. Pada Januari 2015 saja, satu universitas di Negeri Jiran bisa menelurkan 19.878 artikel ilmiah terindeks Scopus, lima kali lipat lebih banyak dibanding satu perguruan tinggi di Indonesia.
Wajar saja, bidang sains memang masih kekurangan asupan Sumber Daya Manusia (SDM). Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) mendapati hanya ada 90 peneliti per satu juta penduduk Indonesia pada Agustus 2015. Angka itu masih jauh di bawah India, Brasil, Rusia, Tiongkok, dan Korea Selatan.
Namun, data statistik di atas tak perlu kemudian menjadi beban bagi para calon ilmuwan. Mengasah kualitas diri tetap jadi misi utama. Dalam kesempatan berbincang bersama peneliti dan ahli fisika dari Karlshure Institute of Technology, Jerman, Doktor Martin Spinrath, Kompas.com sempat menggali topik ini lebih jauh.
Tiga kunci utama
Martin menjelaskan setidaknya ada tiga kunci sukses agar bisa menjadi seorang ilmuwan berkualitas internasional. Tiga hal ini adalah talenta atau kemampuan diri, motivasi, serta lingkungan kerja yang mendukung.
"Seorang ilmuwan perlu mendapat pendidikan yang baik, juga sifat keras kepala, dalam arti punya keinginan kuat untuk tekun dan bekerja keras," kata Martin usai mengisi kuliah singkat bertajuk "The Phisics Nobelprize 2015: Why Neutrions Matter" di hadapan puluhan mahasiswa Binus ASO School of Engineering (BASE) di Kampus BASE, Serpong, Sabtu (9/4/2016).
Mental seorang ilmuwan, menurut Martin, tidak dapat dibeli dengan uang, melainkan lahir dari dalam diri. Karena itu, selagi mengecap bangku kuliah, mahasiswa—sebagai cikal bakal ilmuwan—harus terbiasa melihat satu hal dalam sudut pandang lebih luas.
"Tidak hanya di lingkungan kampus, mereka harus terbuka untuk tahu bidang apa saja yang sebenarnya butuh kontribusi mereka," tutur Martin.
Ilmu fisika "tulen" yang dipaparkan Martin di hadapan mahasiswa engineering sekilas tampak tak berkaitan langsung dengan bidang studi mereka. Namun sebenarnya, menurut Martin, wawasan tersebut bisa memperluas sudut pandang mahasiswa bidang apapun, termasuk engineering.
"Sebenarnya (dalam cakupan luas) banyak hal berkaitan dengan engineering. Di bidang saya (fisika), misalnya, saat kami mau membuat eksperimen baru, biasanya kita butuh mengembangkan teknologi baru pula," kata Martin.
Di situlah para insyiur mengambil peran. Martin mengatakan butuh kerja sama para engineer untuk mengembangkan teknologi tersebut.
"Siapa tahu, mungkin salah satunya nanti mahasiswa ini (BASE) tertarik dan mampu berkontribusi," tambahnya.
Acara semacam ini memang mulai jadi agenda BASE. "Kami ingin membuka pikiran mahasiswa kami bahwa banyak hal lain di luar (bidang) engineering dan bagamana mereka mampu mengaitkannya (dengan bidang engineering)," ucap salah satu staf pengajar BASE, Byan Wahyu.
"(Dengan begitu) mereka bisa melihat opsi apa saja yang bisa mereka lakukan. (Rencananya) nanti pun kita ingin mendatangkan ahli-ahli di bidang lainnya," tambah Byan.

Minggu, 14 Februari 2016

Terungkap, Sulawesi Dihuni Manusia sejak 200.000 Tahun Lalu


 
Erick Setiabudi Alat batu dari Talepu memberi petunjuk adanya manusia purba 
yang menghuni Sulawesi sejak 200.000 tahun lalu. 
 
Penemuan baru yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Kamis (14/1/2016) memberi pencerahan tentang sejarah pendudukan Sulawesi.

Homo sapiens yang diperkirakan sampai di Sulawesi sekitar 50.000-60.000 tahun lalu di Sulawesi setelah bermigrasi dari Afrika bukanlah manusia pertama pulau tersebut.

Sulawesi pernah dihuni oleh manusia purba. Jejaknya berupa alat batu kuno yang berumur maksimal hampir 200.000 tahun.

Temuan alat batu kuno

Cerita penemuan alat batu purba itu bermula dari survei di Talepu yang dilakukan Anwar Akib dari Dinas Purbakala Sulawesi Barat dan Gerrit van den Bergh dari University of Wollongong di Australia.

"Ada pembuatan jalan baru dan saya sedang berjalan kaki bersama Akib ketika kami menemukan bebatuan di sebuah timbunan," kata Van den Bergh seperti dikutip Australia Plus, Kamis lalu.

Tahun 2009 hingga 2012, Van den Bergh melakukan penggalian lanjut di Talepu. Hasilnya, dia dan timnya menemukan 200 artefak alat batu.

Setelah penggalian, dengan bantuan Dr Bo Li dari University of Wollongong, Van den Bergh melakukan penanggalan pada alat batu tersebut. Usia alat pun terungkap.

"Kebanyakan artefak terjadi antara 85.000 sampai 118.000 tahun, tetapi tiga meter di bawah tingkat 118.000 tahun, kami masih menemukan artefak batu lainnya," jelas Van den Bergh. Alat batu tertua berusia 194.000 tahun.

Jenis manusia purba apa?

Teori yang berkembang sekarang menyebut bahwa Sulawesi dihuni manusia sejak 60.000 tahun lalu. Gambar cadas di Liang Timpuseng yang pada tahun 2014 lalu terungkap berusia 39.900 tahun memberi petunjuk pendudukan H. sapiens.

Peneliti Badan Geologi yang terlibat dalam riset alat batu tua di Talepu, Iwan Kurniawan, mengungkapkan bahwa dengan usia lebih dari 100.000 tahun, tak mungkin alat batu di Sulawesi dibuat manusia modern.

"Manusia modern paling tua ditemukan di Wajak, berusia 60.000-40.000 tahun. Alat batu di Sulawesi pembuatnya pasti manusia purba," katanya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (16/1/2016).

Masih sulit untuk menentukan jenis manusia purba yang membuatnya. "Kami belum menemukan fosil yang bisa memberi petunjuk," ungkap Iwan.

Namun demikian, Erick Setiabudi, peneliti Badan Geologi lain yang terlibat, mengungkapkan bahwa manusia purba yang membuat alat batu itu mungkin berkerabat dengan Homo floresiensis, manusia kerdil dari Flores.

Riset alat batu dari Sulawesi ini merupakan bagian dari kerja sama Badan Geologi dan University of Wollongong. Selain di Sulawesi, kerja sama juga dilakukan pada riset H. floresiensis di Nusa Tenggara Timur.

Sumber : Kompas, 14 Februari 2016

Kicauan Jagat Raya Terdengar! Einstein Benar, Gelombang Gravitasi Memang Ada


 
NASA Gelombang gravitasi terdeteksi lewat riset dengan fasilitas LIGO. 
Penemuan yang diumumkan Kamis (11/2/2016) ini membuktikan kebenaran pendapat Einstein 
dan menandai awal baru dalam fisika.

Tim fisikawan berhasil mendengar dan merekam kicauan dari alam semesta yang berasal dari peristiwa bersatunya dua lubang hitam.

Ahli kosmologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tak terlibat penelitian, Premana W Premadi, mengungkapkan, terdengarnya kicauan alam semesta ini menunjukkan bahwa alam tak hanya punya gelombang elektromagnetik.

"Ada gelombang gravitasi yang juga bisa menjadi kurir informasi (dari alam semesta untuk manusia)," ungkapnya ketika dihubungi Kompas.com pada Kamis (11/2/2016).

Gelombang gravitasi sendiri merupakan gelombang misterius yang dihasilkan oleh peristiwa bersatunya dua bintang netron, dua lubang hitam, maupun lubang hitam dan bintang netron.

Keberadaan gelombang itu diprediksi dalam Teori Relativitas Umum Albert Einstein pada 1916. Hingga 100 tahun kemudian, keberadaannya masih misterius. Baru pada Kamis kemarin, keberadaannya terkonfirmasi.

Kisah penemuan

Penemuan kicauan semesta itu diumumkan dengan penuh kegembiraan dalam sebuah konferensi pers di Washington, Amerika Serikat, kemarin.

"Kami mendeteksi gelombang gravitasi. Inilah pertama kalinya alam semesta bicara kepada kita dengan gelombang gravitasi," kata David Reitze, Direktur Eksekutif Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory (LIGO), kepada Nature, Kamis.

LIGO merupakan dua fasilitas riset yang terletak di Washington dan Lousiana. Keduanya terhubung oleh pipa kecil hampa udara sepanjang 4 kilometer. Fasilitas itulah yang menangkap adanya kicauan alam semesta.

Meski disebut kicauan, gelombang gravitasi sama sekali bukan gelombang suara. Gelombang gravitasi sejatinya tak bisa didengar manusia dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan gelombang suara.

Gelombang gravitasi yang ditemukan disebut kicauan karena ketika diolah sedemikian rupa oleh ilmuwan, bunyinya terdengar seperti kicauan burung.

Marco Drago dari Max Planck Institute for Gravitational Physics adalah orang pertama yang mengetahui adanya kicauan itu.

Drago menjumpai kicauan sebagai lonjakan frekuensi gelombang, dari normalnya 35 Hertz lalu memuncak menjadi 250 Hertz dan tiba-tiba saja turun lagi.

Informasi keanehan yang dijumpai Drago segera disadari oleh bosnya, Bruce Allen. Sang pimpinan kemudian meyakini bahwa keanehan itu memang petunjuk adanya gelombang gravitasi.

Analisis kemudian mengonfirmasi bahwa yang terdeteksi memang gelombang gravitasi. Sumber gelombang adalah persatuan dua lubang hitam yang berjarak 1,3 miliar tahun cahaya dari bumi.

Satu lubang hitam memiliki massa 36 kali matahari, sedangkan lainnya 29 kali. Ketika bergabung, massanya menjadi 62 kali matahari.

Baca: Kicauan Jagat Raya Bukti Gelombang Gravitasi, Apa dan Bagaimana Menemukannya?

Awal baru fisika

Penemuan gelombang gravitasi ini dipandang sebagai penemuan terbesar kedua dalam fisika setelah penemuan Higgs Boson pada tahun 2012 lalu.

Penemuan ini setara dengan penemuan struktur DNA setengah abad lalu dan dinilai akan mengubah serta membuka peluang baru dalam kajian fisika.

Fisikawan Stephen Hawking seperti dikutip BBC mengatakan, "Penemuan gelombang gravitasi memberikan cara baru untuk melihat alam semesta. Keberhasilan mendeteksinya berpotensi memicu revolusi dalam astronomi."

Hawking menuturkan, penemuan ini mencetak tiga rekor sekaligus. Pertama, penemuan gelombang gravitasi dari lubang hitam secara langsung.

Penemuan ini juga menandai kali pertama penemuan sistem lubang hitam ganda serta kali pertama deteksi persatuan dua lubang hitam.

Premana menuturkan, gelombang gravitasi sebagai kurir informasi berperan besar. "Krusial untuk pengamatan alam semesta dini, periode inflasi," katanya.

Periode inflasi merujuk pada masa 10^-36 detik setelah Big Bang hingga 10^-33, saat alam semesta mengembang dengan sangat cepat. Gelombang gravitasi memungkinkan manusia mengintip awal semesta.

Sumber : Kompas/12 Februari 2016