Sabtu, 17 November 2007

Merintis Laboratorium Geologi Alam

Merintis Laboratorium Geologi Alam
KEMBALI dari kursus geologi lapangan di Rocky Mountain, Amerika Serikat, pada tahun 1958, sebersit pemikiran muncul di kepala Sukendar Asikin muda. Belajar mengenai batuan langsung di alam membuat ia berpikir, tidak mungkin belajar geologi tanpa terjun ke lapangan.
Maka mulailah ia bersama Ketua Departemen Geologi saat itu, JA Katili, berkeliling Indonesia mencari lokasi terbaik. Mulai dari kawasan Singkarak di Sumatera Barat, Padalarang dan Ciletuh di Jawa Barat, hingga akhirnya mereka menemukan kawasan Karang Sambung di Kebumen, Jawa Tengah. Karang Sambung kemudian dipilih menjadi laboratorium alam geologi karena menghadirkan variasi struktur dan jenis batuan di kawasan yang relatif tidak luas.
Sudah menemukan lokasi, masalah yang lebih besar justru tengah menunggu. Setelah lobi sana sini, akhirnya Katili yang belakangan menjadi Duta Besar Indonesia untuk Rusia mendapat dana dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Masalahnya, bersamaan dengan kuatnya gerakan Barisan Tani Indonesia (BTI) tahun 1962-1963 itu, Sukendar malah dituduh hendak membeli tanah untuk menjadi tuan tanah. Kondisi sempat memanas hingga nyawa Sukendar sempat terancam. "Untungnya Pak Lurah turun tangan, jadinya tanah masyarakat tukar guling dengan tanah lain," kata pria yang lahir di Bojonegoro 23 September 1932, ini.
Pembawaan Guru Besar Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tenang inilah yang bisa jadi membuatnya bisa diterima penduduk Karang Sambung. Sekilas ketenangan ini berlawanan dengan kepakarannya dalam bidang tektonik lempeng yang dekat dengan gempa bumi dan gunung berapi. Namun, serupa dengan pergerakan lempeng yang perlahan tapi pasti, perlahan tapi pasti juga cita-cita Sukendar untuk membuat laboratorium alam geologi tercapai.
Cita-cita Sukendar ini tercapai tidak dengan cara mudah. Mulai dari uang sedikit, tinggal di tenda, hingga mobil mogok dengan air sampai ke leher pernah dijalaninya. Namun, bagi Kepala Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta yang juga pernah menjadi Dekan Fakultas Teknologi Mineral UPN Yogyakarta ini, mewujudkan mimpi memang harus dicapai dengan pengorbanan.
KINI, hampir semua mahasiswa geologi terutama di Pulau Jawa, termasuk ITB, Universitas Trisakti, dan UPN "Veteran" Yogyakarta pernah mengecap pendidikan di laboratorium alam Karang Sambung. Sebagian besar dari merekalah yang kini bertanggung jawab dalam urusan sumber daya alam di perut bumi Indonesia. Beberapa mahasiswa mancanegara seperti Australia juga sempat melakukan studi di sana, berhubung struktur Karang Sambung yang unik, yaitu sebagai pertemuan lempeng Hindia dan lempeng Asia.
Laboratorium alam itu pernah dikunjungi Hamilton dari US Geological Survey pada tahun 1970. Hamilton adalah guru besar geologi dari AS yang merupakan salah satu peletak dasar teori Tektonik Lempeng atau New Global Tectonic yang saat itu masih merupakan mazhab baru yang mendobrak teori-teori yang telah ada. Teori tektonik lempenglah yang melihat bumi sebagai hasil dari gerakan lempeng-lempeng batuan dan tidak statis seperti teori sebelumnya.
Cara pandang lewat teori tektonik lempeng inilah yang menjadi alat untuk menjelaskan sebaran mineral serta minyak dan gas bumi. Mempelajari teori ini sama artinya dengan mempelajari "peta harta karun" si emas hitam dan berbagai mineral, termasuk emas, tembaga, dan nikel. Belum lagi kepiawaian teori ini menjelaskan keberadaan gunung berapi dan aktivitasnya serta peta tektonik Indonesia. Melalui peta tektoniklah, kita dapat menandai daerah-daerah yang rentan gempa di Indonesia, yang notabene cukup banyak karena terletak di lempeng dengan mobilitas tinggi ini.
Saat melihat Karang Sambung dan mendengar penjelasan Sukendar, Hamilton sampai terkagum-kagum. "Jagoan dari AS itu sampai tidak bisa bilang apa-apa saking kagumnya," kata Katili dalam acara pelepasan Sukendar di Karang Sambung beberapa waktu lalu.
"Padahal, saya juga baru baca jurnalnya dia," kata Sukendar Asikin tertawa mengenang hal itu.
Kekaguman Hamilton itu membuat Sukendar lalu dijuluki Profesor Hsu dari Indonesia. Selain karena sama-sama berbunyi "Su", sebutan Prof Hsu itu juga merujuk pada seorang guru besar geologi Yunani yang telah menemukan bukti teori tektonik lempeng. Karang Sambung rupanya merupakan salah satu sisa sejarah pertemuan lempengan yang terjadi 117 juta tahun lalu!
Pertemuan lempeng ini telah mengangkat batuan tertua di Pulau Jawa, yaitu dari zaman Pra-Tersier terangkat di Karang Sambung. Bukti-bukti berupa struktur batuan yang tergerus berupa cermin sesar juga dapat dilihat dengan mudah di Karang Sambung.
Perkembangan geologi sebagai sebuah ilmu pengetahuan di Indonesia pun, menurut Sukendar, seharusnya masih dapat ditingkatkan lagi. Ia menyoroti, banyak dosen yang tidak lagi melakukan penelitian murni. "Padahal, pengalaman saya, kalau kita jadi ilmuwan pun, proyek-proyek yang akan datang," kata konsultan kawakan Pertamina, PT Aneka Tambang, Vico, dan perusahaan swasta migas lain.
Hal ini cukup mengecewakan Sukendar. Baginya, pepatah "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" memiliki makna positif. "Kencing berdiri kan lebih susah, makanya murid itu harus lebih hebat dari gurunya," katanya.
BAGI banyak orang, Sukendar Asikin seakan tidak bisa menolak permintaan. "Apa pun yang diminta, akan diberikan," kata Wimpie S Tjetjep, Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.
Beberapa kali ada mahasiswa tidak mampu membayar uang kuliah lapangan di Karang Sambung. Sukendar pun merelakan honornya yang tidak seberapa untuk menutupi biaya mahasiswa-mahasiswa itu.
Ayah dari empat orang anak ini-Tony Sukinto, Jeanni Kendriani, Desiana Paraswati, dan Meidy Rahmi-memang bersyukur mendapat dukungan keluarga. Bersama istrinya, RE Kustinie, tidak jarang mereka bersama-sama menemani sang ayah dalam penelitian di Karang Sambung. Walau pernah juga mobil VW Kodok macet di tengah hutan di Kebumen, Kustinie rupanya tidak jera menemani sang suami. "Kasihan banget saya lihat dia. Makanya saya jadi menikmati semua hasil jerih payahnya, berapa pun, karena saya tahu itu hasil keringat suami," tutur Kustinie.
Di balik batuan keras yang setiap hari digelutinya, Sukendar rupanya romantis juga. Kustinie bercerita bagaimana ia tiba-tiba mendapat kartu pos dengan hiasan bunga mawar merah di tahun 1955 dari Sukendar muda. Bagi Sukendar, dukungan keluarga merupakan hal yang mutlak. Pernah Kustinie mengusahakan kantin kecil di Akademi Geologi Pertambangan tempat Sukendar mengajar tahun 1960-an. "Tapi bangkrut, habisnya saya suka enggak tega lihat mahasiswa mondar-mandir dengan gaya loyo," kata Kustinie.
Pensiun sebagai pegawai negeri sipil, tidak berarti Sukendar berhenti dari ilmu geologi. Sebagai Ketua STT Nasional Yogyakarta, ia terus memantau Jurusan Tambang dan Planologi yang didirikannya. Di ITB pun ia berjanji untuk membantu penelitian geotermal selain validasi dan sumber daya migas. Rencananya, tahun ini ia hendak menerbitkan buku Tektonik Indonesia. "Old geologists never die, they only fade away," katanya sambil menerawang. (Edna C Pattisina)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar